Kuda Lumping adalah jenis seni tradisional dari Indonesia yang populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang berupa tarian dengan kostum pasukan berkuda dan gerakan-gerakan yang meniru keberanian, keindahan, dan kecepatan pasukan berkuda.
Dalam tarian Kuda Lumping, kuda yang digunakan para penari terbuat dari anyaman bambu atau rotan yang dilapisi dengan kain atau kulit. Kostum tersebut kemudian dihias dihias warna-warni dengan berbagai macam aksesoris seperti tali-tali, kain, dan rumbai-rumbai. Di beberapa daerah, sebutan untuk anyaman bambu adalah kepang, sehingga kesenian kuda lumping dikenal pula sebagai kesenian jaran kepang atau kuda kepang.
Tarian Kuda Lumping biasanya diiringi dengan perangkat gamelan sederhana antara lain; kendang, gong, saron, demung, bonang, dan beberapa perangkat lain namun tidak selengkap peralatan yang digunakan dalam orkestra karawitan. Kuda Lumping merupakan kesenian tradisional yang digemari masyarakat terutama di pedesaan. Biasanya dipertunjukkan pada acara-acara tradisional seperti upacara adat, pernikahan, hari raya keagamaan, dan lain-lain.
Desa Tamanrejo dulunya tidak memiliki kesenian kuda lumping. Justru malah memiliki paguyuban kesenian ketoprak dan wayang wong.
Menurut penuturan Amanda Subekti, Ketua Paguyuban Kuda Lumping "Eko Kapti Turonggo Seta", seiring berjalannya waktu karena tidak ada regenerasi tidak ada lagi pemain ketoprak dan wayang wong sehingga gamelan atau perangkat musiknya tidak ada yang memakai. Atas inisiatif dari beberapa warga Desa Tamanrejo, sebagian peralatan gamelan tersebut digunakan untuk membentuk paguyuban kesenian kuda lumping. Secara resmi, paguyuban kesenian kuda lumping berdiri pada tahun 2004 dengan nama Eko Kapti Turonggo Seta. Eko artinya satu, kapti bermakna wadah, sedangkan turonggo seta adalah kuda putih. Maksud dari penamaan tersebut adalah masyarakat pecinta kesenian tradisional di Desa Tamanrejo bersepakat untuk satu tujuan dalam satu wadah yang dengan wahana kuda putih.
Pada awal berdirinya, Eko Kapti Turonggo Seta (EKTS) masih dangat sederhana. Mereka menggunakan kostum sederhana dengan peralatan gamelan seadanya sisa peninggalan grup kesenian ketoprak dan wayang wong. Namun para pecinta kesenian dalam paguyuban EKTS tetap bersemangat. Keadaan mulai berubah tatkala mendapat suntikan dana aspirasi, sehingga bisa membeli kostum baru, bisa membeli perangkat gamelan baru sehingga geliat kesenian pun bertambah maju. Pada mulanya EKTS diketuai oleh Subiyanto, sekaligus beliau sebagai salah satu pendirinya. Setelah regenerasi, Paguyuban EKTS sejak 2010 sampai sekarang diketuai oleh Amanda Subekti, pelaku seni dari Desa Tamanrejo yang juga sebagai anggota Dewan Kesenian Kecamatan Limbangan. Saat ini anggota Paguyuban EKTS mencapai 80 orang. Namun tidak semua anggota tampil dalam pementasan karena dalam sebuah paguyuban kesenian tradisional banyak peran yang saling mendukung baik di depan maupun di belakang layar.
Sekretariat Paguyuban EKTS beralamat RT 04 RW 01 Desa Tamanrejo. Mayoritas anggotanya adalah warga Desa Tamanrejo, namun paguyuban ini terbuka menerima anggota dari seluruh wilayah Desa Tamanrejo, bahkan pecinta seni tradisional dari luar desa pun diperkenankan bergabung dalam paguyuban. Sebagai sebuah paguyuban kesenian tradional, EKTS pernah mengikuti Festival Segara Gunung, namun belum berkesempatan menjadi juara. Namun begitu, EKTS adalah andalan utama Desa Tamanrejo pada saat ada hajatan desa misalnya 17 Agustus, Sadranan, dan kegiatan desa lainnya. Selain itu, EKTS juga sering menerima tanggapan dari warga yang sedang mempunayi hajat, baik di dalam maupun di luar wilayah Desa Tamanrejo.
Dulu gamelan lengkap yang dimiliki paguyuban ketoprak dan wayang wong termasuk gamelan yang berkualitas tinggi. Pada waktu itu pembeliannya seharga 60 ribu rupiah, setara dengan 300 juta rupiah pada saat ini. Akan tetapi yang dipakai oleh Paguyuban EKTS, hanya beberapa peralatan saja karena sebagian besar peralatan sudah rusak karena terlalu lama tidak digunakan. Peralatan lama yang sudah berumur puluhan tahun itu masih dipakai oleh Paguyuban EKTS, beberapa peralatan yang kurang, dilengkapi sedikit demi sedikit.
Harapannya, bila melihat pada saat ini hanya kesenian tradisional kuda lumping EKTS yang masih bertahan, ke depan semoga Desa Tamanrejo menjadi desa yang berbudaya dengan tradisi dan kesenian yang tetap lestari untuk terwujudnya desa yang maju seperti unen-unen kuncaraning bangsa dumunung aneng luhuring budaya, maju tidaknya suatu desa, suatu bangsa, suatu negara tergantung dari budaya dan tradisi.
"Dengan adanya budaya dan tradisi kuda lumping ini harapannya bisa berkembang, masyarakatnya, segi ekonominya, segi pembangunannya, dan sebagainya", pungkas Amanda Subekti di akhir wawancara dengan redaksi.
Pewarta:
Amanda Subekti, Ketua Paguyuban EKTS Desa Tamanrejo
Dipost : 25 Maret 2023 | Dilihat : 3415
Share :